Mampir Asyik ke Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung
Siapa yang sudah gak kehitung bolak balik ke Bandung, tapi belum pernah mampir ke Museum Konferensi Asia Afrika? Tenang, kamu gak sendiri. Kami juga hahaha… Karena itu pada saat terakhir jalan-jalan ke sana Januari 2020 lalu, disempatkan deh. Sehari sebelumnya untuk pertama kali kami nyoba naik Bandros. Besoknya lanjut mampir asyik ke Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 adalah salah satu yang membuat Bandung tercatat dalam sejarah dunia. Saat itu usai perang dunia ke II banyak sekali negara-negara di Benua Asia dan Afrika yang baru merdeka dari penjajahan. Sebagian lagi malah masih dikuasai penjajahnya. Demi keamanan dan kesejahteraan bersama, negara-negara dunia ketiga ini harus bersatu, mengimbangi kekuatan negara-negara besar yang mendominasi perekonomian dan politik dunia.
Indonesia yang saat itu dipimpin duet Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, menjadi salah satu negara yang memotori lahirnya pertemuan bersejarah ini. Soal sejarah KAA bisa baca lebih lanjut di website resmi museum. Kalau kami bakal lebih banyak cerita soal pengalaman datang ke museum saja. Siapa tau ada yang pengen mampir juga.
Museum Asia Afrika berada di Gedung Merdeka, persisnya di Jalan Asia Afrika No.65 Bandung, Jawa Barat. Dari alun-alun dekeeet banget. Kalau abis selfie panas-panasan di atas rumput alun-alun, coba deh datang ke sini. Anggap saja sekalian ngadem.
Berjalan kakilah dari alun-alun di Jalan Asia Afrika menuju Jalan Braga, museum ada di sisi sebelah kiri. Pintu masuknya kecil, makanya sering kelewatan. Padahal pas banget pintu ini sebelahan sama trotoar yang rame terus. Pintunya memang selalu tertutup karena ruang dalamnya berAC. Perhatikan aja ada plang kecil di teras depan pintu yang bertuliskan Museum Konferensi Asia Afrika. Terus liat ada papan tulisan OPEN yang menggantung di pintu. Itu tandanya museum buka. Dorong aja sendiri pintunya, lalu masuk deh. GRATIS.
Di bagian dalam bakal ketemu Pak Satpam yang akan mengarahkan kita mengisi buku tamu di resepsionis. Cuma ini satu-satunya syarat untuk menjelajahi museum. Focal point di bagian ini adalah instalasi bola dunia yang bagus banget. Bola dunia memberi highlight pada wilayah Benua Asia dan Afrika. Ini seolah menunjukkan besarnya potensi yang dimiliki kedua benua yang didiami kaum kulit berwarna, bila bersatu.
Peraturan di dalam sini adalah dilarang mengambil gambar dengan kamera. Tapi motret pake handphone gak papa. Agak aneh sih peraturan ini menurut kami. Karena tau sendiri kan, sekarang kamera handphone kualitasnya udah gak kalah sama kamera profesional. Seberapa ketat aturan ini diterapkan? Banyak juga kok kami lihat yang motret pake kamera DSLR. Jadi mungkin perlu didefinisikan ulang apa sih sebenarnya maksud peraturan ini.
Koleksi pertama yang langsung terlihat adalah diorama Presiden pertama RI, Soekarno, yang tengah berpidato saat pembukaan KAA. Di belakangnya ada patung para perwakilan negara penggagas konferensi. Mereka adalah PM Indonesia Ali Sastroamidjojo, PM Sri Lanka John Kotelawala, PM India Jawaharlal Nehru, PM Birma (kini Myanmar) U Nu, dan PM Pakistan Muhammad Ali. Perdana Menteri dari lima negara selain Indonesia itu kemudian disebut sebagai Panca Lima oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo.
Koleksi yang tak kalah banyak dalam museum adalah peralatan media yang digunakan untuk meliput kegiatan tersebut. Kita bisa melihat beragam kamera jadul yang dipakai para wartawan di masa lalu. Proses penerbitan berita terkait KAA pun tergambar cukup lengkap di museum.
Selain diorama, dipamerkan pula furniture yang dulu digunakan untuk menyambut para tamu dan kepala negara, foto-foto saat konferensi, serta sejumlah catatan sejarah yang terangkum dalam gambar. Kita juga bisa mendengarkan rekaman suara pidato Bung Karno saat membuka konferensi. Merinding deh dengernya. Urusan orasi, memang Bapak Proklamator ini juaranya. Cuplikan narasi pidato Bung Karno juga menjadi koleksi museum.
Di museum ada juga sejumlah komputer sebagai multimedia yang berisi tentang sejarah konferensi. Sayangnya jumlahnya kurang banyak. Tampilannya pun terlalu sederhana. Yang bikin agak kesel, lemot komputernya. Jadi waktu tunggu buat liat satu page lambreta bambang. Menurut saya, buat tonggak sejarah sebesar Konferensi Asia Afirika, museum masih bisa dibuat lebih kece. Terutama layar-layar dan tampilan interaktif multimedianya. Modal tempat udah ada, dan bagus juga desainnya. Konsep dasarnya juga kerenlah. Tinggal dipoles sedikit lagi.
Kalau buat saya dan anak-anak, salah satu yang menarik adalah bagian ulasan pers nasional dan internasional. Bentuknya berupa kliping potongan koran di dinding. Mulai dari tata bahasa, lay out, semua seolah membawa kita kembali ke masa lalu. Anak-anak seneng bacain potongan berita koran ini satu persatu.
Di bagian rangkuman sejarah, ada gambar-gambar perang dunia ke II yang memiliki pengaruh besar pada negara-negara Asia dan Afrika. Inilah saat-saat suram di mana negara-negara di kedua benua tersebut, termasuk Indonesia, dieksploitasi habis-habisan. Menjadi wilayah jajahan dipertukarkan layaknya properti rampasan, sementara harga diri bangsanya dianggap tak lebih dari keset kaki.
Setelah masa penjajahan kelam, masih ada pula perang dingin antara kubu Amerika dan Uni Soviet (kini Rusia). Kondisi ini yang tengah dihadapi seluruh negara dunia saat KAA digelar. Perang dingin antara dua kutub besar dunia saat itu, mau tak mau juga berpengaruh pada kondisi ekonomi politik negara-negara Asia Afrika yang bisa dibilang usianya masih seumur jagung. Kondisi inilah yang memperkuat alasan KAA digelar. Sebuah ajang yang mengumpulkan negara-negara kecil yang baru lahir, untuk berani bersikap di tengah kondisi dunia yang terpecah belah.
Dua puluh lima tahun setelah pertemuan yang bersejarah, Museum Konferensi Asia Afrika diresmikan oleh Presiden kedua Indonesia, Presiden Suharto pada pada 24 April 1980. Tahun 2005, museum ini kembali direnovasi bertepatan dengan peringatan KAA yang ke 50 tahun. Tata letak museum juga diperbaiki.
Gedung Merdeka yang menjadi lokasi KAA sekaligus museum sekarang, ini dulunya bernama Gedung Societeit Concordia. Namanya diubah menjadi Gedung Merdeka oleh Bung Karno menjelang pelaksanaan KAA. Gedung ini berawal dari kedai kopi sederhana milik keturunan Tionghoa. Tadinya bangunan terbuat dari papan kayu dengan penerangan lampu minyak. Meski begitu, di sinilah tempat nongkrongnya meneer dan noni Belanda yang ikut perkumpulan Societeit Concordia.
Di dalam museum ini juga ada perpustakaan lho. Selain buku-buku terkait sejarah, adapula buku yang ditujukan untuk anak-anak. Kalau nggak kepepet waktu mesti buru-buru check out dari hotel, pengen juga berlama-lama di perpustakaan ini. Lana dan Keano juga betah baca bukunya. Perpustakaannya sih nggak besar. Gak kayak Perpustakaan Nasional di Jakarta nan megah itu. Tujuan dan peruntukannya sudah beda.
Perpustakaan di sini adalah pelengkap, bagian dari fasilitas museum. Cuma terdiri dari satu ruangan. Koleksi bukunya juga nggak terlalu banyak. Tapi cukuplah buat pengunjung yang pengen lebih tau soal museum dan sejarah KAA. Hanya sedikit pengunjung museum yang mampir ke perpustakaan ini. Nggak tau kenapa. Mungkin memang lagi pada males baca aja.
Perpustakaan berada di lorong antara ruang pamer dan ruangan yang dulu digunakan untuk konferensi. Jadi rutenya adalah ruang pamer-perpustakaan-ruang konferensi. Jangan dibandingkan ruang konferensi masa lalu dengan gedung-gedung konferensi sekarang macam JCC atau ICE. Kayak bumi dan langit.
Ruang konferensi penampakannya sangat sederhana. Tapi di tempat sederhana ini, dulu utusan dari 29 negara Asia Afrika berkumpul. Yang datang juga para petingginya. Kita bisa duduk-duduk di ruang konferensi ini, membayangkan jadi peserta saat acara digelar. Ruang konferensi ini memiliki lantai mezzanine di bagian belakang. Di lantai itulah awak media berkumpul untuk merekam kegiatan dan menyebarluaskan beritanya ke seluruh dunia.
Ruang konferensi ini adalah bagian terakhir atraksi yang dimiliki oleh Museum KAA. Dari tempat ini, pengunjung diarahkan menuju lorong yang berakhir di pintu keluar. Lokasi pintu keluar berbeda dengan lokasi pintu masuk di awal. Kalau kita masuk dari Jalan Asia Afrika, maka ketika keluar kita akan berada di sisi gedung yang lain, di Jalan Dr. Ir Sukarno, tepi sungai Cikapundung dekat Plaza Cikapundung.
Ngajak anak ke sini sungguh seperti menemukan oase di tengah hiruk pikuk dan konsumerisme wisata Bandung. Sementara di luar gedung berisik dengan banyaknya aktivitas wisatawan, di dalam sini terasa sunyi dan tenang. Anak-anak bisa belajar sejarah dari beragam koleksi menarik museum. Sejenak mereka lupa untuk minta makan dan jajan makanan aneh-aneh yang banyak di Bandung. Lain kali mampir asyik ke Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung boleh diulang.