DestinasiIndonesia

Wisata Swafoto Ala Tebing Keraton Bandung

Tebing Keraton dan swafoto alias selfie ibarat saudara kembar. Dua-duanya susah dipisahin, tumbuh dan gede bareng. Gara-gara fenomena selfie juga, si Tebing Keraton di Bandung ini jadi ngehits. Makanya –plus sedikit opini lebay– jalan-jalan ke Tebing Keraton ini, kami seperti ikut menjadi ‘saksi sejarah’ gimana hebohnya si selfie. Buat Lana dan Keano, mungkin nanti pas sudah besar, bisa jadi femomena selfie ini sudah gak ada. Atau mungkin bisa jadi tambah menggila.


Kalau merunut sejarah, ternyata sudah lama juga gaya swafoto ini. Foto selfie pertama, sudah ada dari tahun 1839, diambil oleh Robert Cornelius, seorang pionir fotografi. Dan tongsis alias si tongkat narsis bin selfie stick, juga sudah telihat penampakannya di foto selfie Arnold dan Helen Hogg di tahun 1925. Tapi baru tahun-tahun belakangan ini saja selfie jadi fenomena, bareng dengan banjirnya penggunaan smartphone.

Sebenarnya gak terlalu tertarik juga buat ke Tebing Keraton, tapi karena sebagai orang yang asalnya dari Bandung, dan mumpung ada waktu luang, gak salah rasanya kalo kita menjajal tempat ini juga. Toh Bandung walaupun kita sudah sering ke sini, tetap saja ada tempat yang Lana dan Keano belum datangin. Selalu muncul spot baru, salah satunya si Tebing Keraton ini. 
Tertarik gak tertarik. Tapi buat peneguh hati, ada alasan lain, minimal ini tempat sudah jadi salah satu penanda zaman. Penanda hadirnya fenomena selfie atau swafoto, selain tempat-tempat selfie lainnya. Bagaimana fenomena selfie ini sudah mewabah ke seantero negeri, dan mancanegara. Selain itu, biar gak penasaran juga. Gak sekedar lihat di tv, atau foto-foto yang berseliweran di medsos kaya instagram.

Sebenernya gak ada yg salah dengan fenom selfie ini, menurut saya. Toh, masing-masing orang punya cara untuk bikin kebahagiaannya sendiri. Tapi ya lucu saja, menarik melihat tingkah polah orang-orang yg selfie di Tebing Keraton ini. Mungkin orang lain yang di Tebing Keraton ini juga berpikiran sama.

Selain membawa oleh-oleh foto dari sini, melihat orang-orang yang datang dan selfie, menjadi hiburan tersendiri. Jadi yang datang ke sini, selain terhibur, jadi penghibur yang lain juga. Termasuk kami.

Asyik saja melihat orang-orang yang dengan serius dan fokus berselfie ria. Ada yang di atas pagar. Nerobos, atau loncatin pagar buat dapat foto terbaik. Selfie, wefie, ataupun potret diri difotoin temennya. Ada yang cool, monyongin bibir dan lain sebagainya. Jangan kaget, bebas dan sah-sah saja. Kita bisa melihat misalnya cowok gondrong yang kalau ketemu di jalan mungkin kita berpikiran dia preman, cadas, gahar dan sejenisnya. Tapi gak disangka dan diduga, justru beliaulah di antara teman-teman lainnya yang paling banyak posenya, dan paling banyak minta difotoin sama temannya dari berbagai sisi. Atau contoh lain, dua orang pria dengan tampilan yang cukup macho, tiba-tiba ngeluarin balon cantik berbentuk angka, dan berfoto berulang kali tanpa risi. Mungkin ada yang sedang ultah, pacar atau istrinya bisa jadi. Uh So sweet…

 

Berangkat siang setelah dari resepsi kawinan teman, utara Bandung memang jadi tujuan. Menuju puncaknya Bandung, tempat-tempat ketinggian di Bandung. Setelah menikmati Punclut di pagi hari, target berikutnya mau lewatin sore di Tebing Keraton dan ke Bukit Moko. Tebing Keraton jadi tempat yang pertama buat kami menikmati sore.

Perjalanan sekitar 45 menit dari Pasteur, kami sampai sekitar jam tiga sore di Tebing Keraton. Begitu sampai, ternyata mobil harus di parkir di bawah, di pojokan dekat pertigaan. Ada beberapa mobil lain juga yang sedang parkir di situ. Kata abangnya yang jaga parkiran, mobil memang cuma boleh sampai di sini saja. Selanjutnya harus lanjut perjalanan pake ojek, atau jalan kaki. Padahal mobil sebenarnya bisa saja naik ke atas. Toh jalanannya saya lihat sudah bagus dan lebar. Tapi aturan atau kearifan lokalnya seperti itu, ya ikut dan setuju saja, bagus juga. Bagi-bagi rezeki buat warga sekitar yang punya tambahan penghasilan jadi ojek wisata Tebing Keraton.

Saya dari awal memang sudah niat pengen jalan kaki. Lihat-lihat suasana, sekaligus lemesin kaki yang kebanyakan duduk dan jarang gerak. Tapi lihat Keano yang lagi kurang fit, dan jarak yang lumayan jauh, jadi berfikir lagi. Jalanan menanjak sekitar 3 km. Akhirnya cuma saya sama Lana saja yang jalan. Keano masih tidur di mobil ditungguin emaknya, dan katanya mau nyusul nanti naik ojek.

Sepanjang jalan kaki ke Tebing Keraton, gak henti-hentinya tukang ojek nawarin jasa. Penawarannya macem-macem; antar saja, pulang pergi, atau lepas kunci alias motornya dibawa sendiri. Belasan, atau malah puluhan tukang ojek nawarin. Mulai dari yang di pangkalan, sampai yang papasan di jalanan. Ada yang sekedar nawarin lalu pergi. Ada yang ngikutin dari pangkalan, ngikutin di tengah jalan. Beberapa tukang ojek ada yang keukeuh dan sabar nawarin. Ada yang bilang jauh lah, kasihan anaknya, dll. Tapi tetep pada sopan. Segala macam rayuan tukang ojek dengan terpaksa ditolak, karena memang sudah niat mau jalan kaki. Padahal tawaran harga sudah diturunin. Dari yang penawaran harga 50 ribu, sampai 25 ribu, karena makin lama memang semakin dekat juga ke Tebing Keraton.

Jalan kaki di sini lumayan seger, cari keringet sambil lihat pemandangan, kebun warga, dan lewatin permukiman. Sempet beberapa kali berhenti buat istirahat. Dan di tengah jalan baru tahu ternyata kaki Lana yang sakit, berasa lagi. Mau naik ojek sudah telanjur lebih setengah jalan. Lana juga masih mau diajak jalan kaki, apalagi baru lihat motor nyusruk di jalanan turunan berbatu. Sekitar 3 km jalan kaki, akhirnya sampai juga di Tebing Keraton.

Pas sampai di Tebing Keraton, Lana agak bingung dan sempat nanya mau ngapain di sini. Mungkin bingung karena tempatnya cuma taman yang gak terlalu besar dan juga banyak orang lagi sibuk berfoto ria. Dengan tongsis ataupun tanpa tongsis. Mungkin di pikirannya, perjuangan jalan kaki menanjak sekitar 3 km dengan kaki yang sakit, gak sebanding dengan ekspektasinya. Gak ada wahana permainan misalnya. Hehe maaf ya Mbak Lana… Ya akhirnya kami cuma duduk-duduk jadi pengamat, dan sesekali ikut fotoin Lana, sambil nunggu Keano dan emaknya datang.

Keano dan Yossie nyusul naik ojek. Sampai di sini, Keano yang memang lagi gak fit ternyata kelihatan agak bingung juga. Diajak lihat-lihat pemandangan dan ujung-ujungnya tetep Keano gak mau berlama-lama. Mau balik ke mobil.

Sudah sampai di Tebing Keraton gak afdol kalau gak foto. Dengan sedikit ogah-ogahan, jeprat jepret dulu buat kenang-kenangan. Sekaligus bukti sebagai saksi sejarah fenomena selfie ala Tebing Keraton Bandung. Dan belakangan baru nyadar, ternyata gak ada foto wefie kami berempat. Salah besar ini…

Pulangnya baru naik ojek. Dua motor. Masing-masing motor bertiga jadinya. Tapi kalau saya, saya yang bawa motornya, dan tukang ojeknya dibonceng. Males saja kalau nyusruk kaya yang tadi. Lebih pede dan enak bawa sendiri.

Tujuan berikutnya, ke Bukit Moko. Tebing Keraton sudah bisa dicontreng dari list. Dan bagi saya, daya tarik si Tebing Keraton, jadinya gak cuma dari segar dan indahnya lokasi saja. Tapi sama menariknya dengan menonton atraksi orang-orang yang sedang berselfie ria. Baguslah, jadi dapat tontonan plus. Dan minimal hasil foto selfie di Tebing Keraton atau di tempat indah lainnya, lebih enak dilihat, dibanding selfie muka doang di depan kaca, di kamar kosan, atau gelap gulita entah di mana. Minimal ada pemandangan lainnya yang bisa dilihat. Gak muka doang hehe..

Selamat selfie atau wefie!

*****

Ajak Anak

Hallo, kami Herwin-Yossie-Lana & Keano, keluarga dengan dua anak penggemar traveling. Backpacking, budget traveling, hiking, & camping bersama anak menjadi favorit kami. Di sini kami berbagi cerita traveling dan pengalaman bertualang. Dan percayalah, bagi anda yang suka traveling dan wisata petualangan, melakukannya bersama anak dan keluarga jauh lebih menantang, sekaligus menyenangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *