Desember, bulan yang satu ini memang lumayan spesial. Dibilang lumayan, karena bagi kami bulan yang lebih spesial adalah bulan-bulan pas hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Kenapa begitu? Untuk jawaban serius religiusnya, karena inilah hari kemenangan setelah melewati sebulan penuh ibadah puasa Ramadhan. Inilah hari di mana kita kembali fitri. Untuk jawaban duniawinya, karena di Lebaran dapat THR, dan inilah hari-hari buat liburan.
Bulan Desember memang ditunggu. Ada libur natal dan tahun baru, dan biasanya bareng sama libur sekolah anak. Bulan Desember ibarat hari Jumatnya bagi para pekerja kantoran di Jakarta, yang punya kalimat jimat TGIF, “Thank God Its Friday”. Desember bagi kami sejurus dengan Jumat, dan juga Lebaran. Jurusnya sama: Liburan, jalan-jalan.
Kalau Desember 2013 lalu kami ke telukKiluan Lampung, dan di akhir 2012 road trip ke Bromo, maka akhir tahun 2014 ini kami kembali road trip ke Bromo. Ide awalnya sih dari keponakan yang di Lampung, karena setelah sering diceritain Lana-Keano dan Eyangnya tentang Bromo, jadi ngiler mau ke Bromo juga. Biar lebih puas dan gak redundant, trip kali ini dibuat beda.. yaitu plus Bali.
Hitung punya hitung, yang jalan lumayan banyak, dua keluarga, lima dewasa dan lima anak. Tapi biar irit dan juga kebayang bakal ribet di jalan kalau pakai dua mobil, lalu diputusin jalan satu mobil saja. Alhamdulillah muat, “pas” dan masih nyaman. Kursi baris pertama alias depan diisi kepala keluarga, plus sekali-sekali Keano pindah ke depan-tengah-belakang. Baris tengah kapling ibu rumah tangga (Yossie-Ening) dan eyang, sedangkan baris ketiga paling belakang adalah wilayah kekuasaan anak-anak (Lana, Zara, Imbi, Zahran ‘Kude’). Barang-barang atau tas pakaian disimpan di bagasi, dan sisanya ditumpuk di sela kaki bagian belakang tempat anak-anak, bisa sekalian jadi “kasur”, rata sama jok.
Berangkat jam sembilan pagi dari Depok (23 Desember 2014), mobil diarahkan ke tengah kota Jakarta dulu. Ke daerah Mega Kuningan jemput Yossie di kantor yang memang masih masuk kerja dari malam sampai pagi. Sengaja pilih hari itu (hari terakhir kerja) dan langsung jemput di kantor, karena biar efektif maksimal manfaatin jumlah hari liburnya. Maklum karena kantornya masih terbilang baru, lagi lucu-lucunya, dan karyawan sama bos-bosnya lagi pada semangat-semangatnya kerja, jadi gak dapat cuti. Piss J… Penjelasan formalnya sih, karena ada teman satu timnya yang cuti natal (padahal, lebaran gak cuti juga tuh). Alhasil sepanjang hari pertama, perjalanan Yossie banyak diisi dengan tidur.
Setelah bermacet-macet di tol daerah Bekasi dan Cikampek, kami Ishoma (istirahat-sholat-makan) di daerah Subang. Sepanjang pantura ini memang banyak mesjid di kiri kanan jalan. Jadi tinggal pilih mana mesjid yang diinginkan, sesuai enaknya ngegas dan ngerem saja. Parkirannya juga luas-luas.
Dua jam riang dan kenyang di Pemalang
Melewati Brebes dan Tegal, kami mengincar Pemalang sebagai tempat istirahat berikutnya. Kami relakan belok kanan sedikit dari jalur pantura untuk menuju alun-alun kota Pemalang. Pemalang memang sudah gak asing bagi kami. Di Tahun 2012 – 2013 hampir setiap dua bulan sekali kami selalu ke Pemalang. Tujuannya? Ke Bu Atun. Dia bukan keluarga atau kerabat kami, bukan pula pejabat atau bupati. Yang sampai sekarang pun kami gak tahu siapa bupatinya Pemalang. Bisa jadi Bu Atun secara gak sengaja menjadi duta Pemalang yang efektif, dan mungkin lebih terkenal dari pejabat-pejabat Pemalang.
Begitu parkir di depan mesjid agung Pemalang, langsung disambut kumandang adzan Maghrib. Selesai shalat Maghrib, giliran kumandang wangi gorengan dan makanan kaki lima yang memanggil-manggil kami. Gorengan, cireng, cilok akhirnya menjadi teman sehati wedang ronde yang bikin hangat tubuh. Harga memang murah, seperti wedang ronde yang cuma lima ribu rupiah. Tapi saya rasa semuanya cocok di lidah. Bukan rasa yang asal-asalan. Masih banyak makanan yang bisa dicoba di alun-alun, mulai dari bakso, mie dan nasi goreng, sampai sate juga ada. Tapi makan ‘serius’nya kami simpan sejenak buat nasi grombyang yang memang sudah kami incar.
Sementara para orang tua anteng duduk-duduk di lesehan dengan makanan, anak-anak punya kesibukan sendiri… main odong-odong (kecuali Keano, masih tidur di mobil). Di sini ada dua pilihan odong-odong, yang ada karaokenya cukup bayar tiga ribu rupiah per orang selama dua putaran alun-alun. Orang tua juga bisa naik mendampingi. Yang ini digowes sama abangnya. Anak-anak bisa berkaraoke sepuasnya. Interiornya juga eye catchingdihiasi macam-macam, ada monitor/tv, gambar superhero atau princess, hingga cermin dan pewangi ruangan. Tampilan eksteriornya variatif juga, ada dora emon, unyil, upin ipin, naga, teletubbies, dan lain-lain.
|
Odong-odong Alun-alun Pemalang |
Odong-odong satunya lagi adalah odong-odong gowes sendiri, “nyetir”sendiri. Ini seperti sepeda panjang multi pedal. Yang ini bayarnya lima ribu per orang, per dua putaran alun-alun. Murah meriah, dan anak-anak sumringah.
Puas main-main. Dan inilah gongnya di Pemalang, nasi grombyang. Nasi grombyang ini sudah menjadi menu wajib kami kalau ke Pemalang atau melintas di jalur pantura. Seperti biasa, pilihan kami adalah nasi grombyang Haji Warso, di jalan RE. Martadinata, sekitar 300 meter dari alun-alun, atau sekitar 500 meter dari stasiun Pemalang. Warung ini selalu ramai dari pagi hingga malam. Jangan heran kalau banyak terparkir motor dan mobil, bahkan plat nomor dari luar kota. Di sepanjang jalan ini juga, kalau malam, banyak berderet tempat makan kaki lima, seperti lontong dekem atau kue khamir misalnya. Di sini memang pusat kulinernya Pemalang.
Nasi grombyang disajikan dalam mangkuk gak terlalu besar. Dalam satu mangkuk, nasi sudah tercampur dengan kuah soto panas berwarna agak kehitaman (sekilas mirip rawon) berikut isi daging dan jeroan. Rasanya gurih dan agak manis. Daun bawang dan bawang goreng di atasnya menambah selera mata, dan lidah pastinya. Anak-anak cukup lahap menyantapnya. Sambil menikmati nasi grombyang, home band alias pengamen lokal setia menemani dengan lagu-lagu pilihan.
|
Nasi grombyang dan sate sebagai pendampingnya |
Dinamakan nasi grombyang, konon katanya karena kuahnya yang banyak sehingga ketika dibawa, isinya jadi mengambang bergoyang-goyang (grombyang).Sebagai pelengkap nasi grombyang, di meja selalu disajikan sate (sapi atau kerbau?). Rasanya juga manis, sedikit berkuah, bukan kering seperti sate bakar biasanya.
Satu porsi nasi grombyang harganya 12 ribu rupiah. Kami semua menghabiskan dua belas porsi/mangkuk nasi grombyang, sepuluh tusuk sate, delapan gelas teh tawar, dua gelas es jeruk, dan dua ketan yang disajikan di atas meja. Total jenderal, harganya sekitar 190 ribu-an.
|
‘Makan bunuh’ di nasi grombyang Pemalang |
Puas dengan nasi grombyang, tepat jam delapan kami meninggalkan kota Pemalang. Kami memang open itinerary buat tempat nginap atau istirahat. Karena bawa anak kecil, jadi kami berhenti sesuai sikon saja. Di itinerary-itinerary-an, kami hanya membuat incaran antara kota Semarang, Demak, Kudus, atau Rembang buat istirahat menginap. Pilih penginapan pun hanya browsinginternet dan booking lewat telepon saat di perjalanan.
Lepas Pekalongan dan masuk Batang, efek nasi grombyang mulai berasa. Hampir semuanya mulai menundukan kepala, tidur. Kenyang dan malam, memang teman yang kompak dalam ajakan tidur. Demi memberi kesempatan badan buat istirahat, kami putuskan buat menginap di Demak.
Hampir tengah malam kami sampai di penginapan, di daerah Kadilangu Demak, tepatnya di kawasan makam Sunan Kalijaga. Gak perlu pakai komando atau instruksi untuk kami tertidur pulas. Sambil mereka-reka rencana menunggu esok, diawali ‘jalan pagi’ di antara peziarah makam Sunan Kalijaga.
***