Dan Bandung bagi kami…
Mau dibilang macet, terlalu penuh orang, udaranya gak dingin lagi, saya selalu suka Bandung. Biar lahir di Jakarta, Bandung menyimpan banyak kenangan buat saya. Dulu waktu masih aktif latihan kung fu dan selanjutnya kung fu menjadi wushu, saya sering bolak balik Bandung. Buat latihan sama teman-teman di sana, ataupun ikut kejuaraan. Berlanjut dapat suami yang lahir dan besar di Bandung, meskipun ketemunya di Jakarta dan dia bukan jagoan kung fu. Kata Pidi Baiq, Bandung bukan cuma masalah geografis, tapi melilbatkan perasaan. Setujulah saya mah. Apalagi setelah baca seri novel Dilan yang sukses bikin baper hahaha..
Karena itu, road trip kami melintasi Pantai Selatan Jawa Barat, yang pulangnya sebenarnya mestinya cuma lewat doang di Bandung, justru jadi menginap di sana. Terlalu sayanglah sama kota yang satu ini.
Sebelum sampai Bandung, dari Pangandaran kami mampir dulu di Ciamis. Lana dan Keano mau naik deldom alias delman domba di alun-alun Ciamis. Di Ciamis kami juga makan siang. Setelah itu perjalanan lanjut ke kota kembang.
Sampai di Bandung, hari sudah gelap. Sesuai pengalaman, cari penginapan di Bandung pas weekend itu susah. Apalagi kalau mau dapat yang nyaman dan murah, seperti tagline traveling keluarga kami hehe..
Karena itu, di era digital seperti sekarang ini, saya sudah nyolong start, cari penginapan online sepanjang jalan. Dan muncullah nama Setra Priangan Guest House. Letaknya di kawasan Setra indah, Sukajadi. Selain punya stok kamar banyak, harganya juga ramah. Cocoklah. Mau liat kamar-kamarnya bisa cek di sini. Webnya sih jarang di apdet sama yang punya kayaknya. Tapi kalau mau booking nomornya bisa dihubungi. Kalau saya waktu itu booking di jalan pake Traveloka, beberapa jam sebelum check in.
Reviewnya: kamar besar, enaklah kalau bawa anak kecil. Cuma agak berdebu, jadi mesti kebut-kebut dulu Dapat sarapan standar nasi goreng. Hospitality so so. Waktu kami dateng, yang jaga sampai jemput di depan jalan, yang memang lokasinya agak masuk dari jalan utama. Yang jaga laki semua. Kalau gak salah cuma 2 orang. Mungkin karena waktu itu kami datang juga udah lewat jam 9 malam. Tapi untuk harga di bawah Rp 300.000 semalam dan kami juga cuma numpang tidur dan mandi, okeeeh.
Paginya, kami memulai tour Bandung yang tidak direncanakan. Kalau mau belanja di Bandung, saya selalu mampir ke Rumah Mode. Jadi faktor kebiasaan kayaknya. Selain tempatnya enak, koleksinya juga banyak yang cocok.
Gak perlu cerita banyak kali ya soal Rumah Mode, kayaknya udah jadi tempat belanja sejuta umat juga. Belakangan kalau ke sana, yang dateng bukan cuma umat Indonesia doang. Banyak umat Malaysia juga yang seneng wisata belanja. Jadi jangan heran kalau jadinya sering kedengeran dialog ala Upin Ipin.
Saya mau cerita soal makanan aja. Mungkin udah pernah ada yang nyobain, tapi kalau saya, suami, Lana dan Keano baru sekali ini mampir. Endezz banget deh. Namanya Iga Bakar Si Jangkung. Alamatnya di Jl. Cipaganti No.75. Gak jauh dari Rumah Mode, tinggal turun dari Setiabudi ke Cipaganti. Iga bakar ditaruh di atas hot plate tradisional. Dagingnya empuk, dan bagi yang suka pedes bisa minta tambahan potongan rawit di atasnya.
Selain iga bakar ada sop juga yang disajikan didalam wadah tanah liat. Terus ada tongseng yang bikin ngiler… Nulisnya aja saya jadi pengen mampir lagi. Sayang jauh lokasinya dari Depok hahaha..
Enaknya juga, deket Si Jangkung ada Masjid Raya Cipaganti. Masjidnya luas, bersih dan ada parkirannya. Bisa shalat di sana, dan istirahat sebentar sebelum berperang lagi dengan macetnya Bandung.
Abis dzhuhur perjalanan lanjut ke kawasan Gedung Sate dan Gasibu. Maunya sih masuk ke Museum Geologi yang ada di sebelahnya. Sayang, udah keburu tutup. Hari Minggu museum cuma buka sampai jam dua siang. Akhirnya kami nyeberang, terus mampir deh ke Yoghurt Cisangkuy. Yoghurtnya masih enak. Cuma suasananya jauh dari teduh yang dulu saya inget. Rame banget, antre, eh banyak yang abis juga menunya. Kami cuma pesan yoghurt anggur dan leci, dan gak makan di situ. Gak ada tempat yang kosong juga sih. Lagian habis dari si Jangkung, dan lahan perutnya disisain buat kuliner Bandung yang lain.
Lanjut jalan ke taman lansia yang ada di seberangnya. Lana dan Keano sempet foto-foto sama dinosaurus. Patung dinosaurus tepatnya. Mungkin karena dinosaurus hidup di zaman purba. Maka ada patungnya di taman lansia. Untuk fakta akuratnya boleh tanya sama Pak Ridwan Kamil yang istrinya cantik jelita.
Cerita makanan lagi ya. Kalau yang ini incaran suami banget. Baso cuankie dan batagor Serayu. Meski cinta Bandung dan pastinya bukan pertama kali ke Bandung. Inilah momen perdana saya mampir dan nyobain baso cuankie Serayu. Gak enak, tapi enaaaaaaaak banget. Lokasinya ada di jalan Serayu No.2, Cihapit. Yang beli antreee. Tapi worth it. Gak nyesel lah mampir. Ini bukan blog berbayar, tapi gak nolak juga sih kalau diendorse makan gratis lima mangkuk kalau ke sana. Di dalam semangkuk baso yang isinya sampai kayak mau tumpah, ada semacam somay yang kenyel-kenyel dan gurih kalau dirasa-rasa di mulut. Kuahnya juga seger banget. Sebagai penyuka baso, saya sangat berterima kasih sama suami diajak ke sini. Maaf gak ada penampakan baksonya. Kami makan di dalam, kondisi lowlight dan duduk desak-desakan. FYi, bisa makan sambil duduk aja udah syukur. Jadi lupakan foto-foto.
Kenyang makan baso, kami ke alun-alun. Pengenlah nyobain lapangan rumput sintetis yang ngehits fotonya di berbagai medsos. Parkir susah, karena ada pengajian. Jadinya, kami parkir di jalan Cikapundung. Deket sih, tinggal jalan kaki ke alun-alaun. Yang menyenangkan, turun parkir ada penjual buku dan majalah bekas. Sempat mampir dan liat-liat koleksinya yang amazing. Ada majalah Nina coba, yang populer banget waktu saya SD. Ada komik Donal Bebek versi jadul, komik Spiderman, Superman, dan kami membeli beberapa.
Lewatin bangunan-bangunan tua bergaya art deco berasa romantis. Seneng bisa jalan kaki di sini. Cuaca lumayan cerah meski mendung di kejauhan. Yang saya sesalkan ketika melihat hasil foto-foto di sini adalah muka saya yang gosong banget, efek panas-panasan waktu belagak surfing di Pantai Batu Karas, beberapa hari sebelumnya. Soal surfing batu karas nanti ada ceritanya sendiri.
Setelah puas cuci mata di jalan Asia Afrika, yang ramai dengan seniman jalanan dan parade cosplay lengkap dengan si Valak, Kuntilanak dan segala superheronya, sampailah kami di alun-alun yang famous itu. Berasa kekeluargaan di sini. Orang-orang lesehan, anak-anak berlarian bebas, sebagian ada yang tidur-tiduran sambil foto-foto, biar rumput palsunya keliatan. Eh itu sih saya sama anak-anak hahaha..
Buat taman ini saya rela kasih unjuk jempol buat Kang Emil. Kerenlah terobosannya. Mungkin ada plus minus Si Akang memimpin Bandung. Cuma untuk taman-taman, nilai plus-plus (bukan pijat) layak diberikan. Oiya, yang mau mampir ke lapangan rumput alun-alun jangan lupa bawa wadah sandal. Masuk ke sana mesti nyeker. Enak juga sih, jadi langsung bisa masuk Masjid Agung yang sebelahan tempatnya.
Sebelum pulang ke Depok, sebagai yang pernah bercita-cita jadi rocker, saya minta ke suami buat mampir ke Way Out. Mau liat koleksi boots-nya. Waktu sampai di sana, yang ada cuma pria-pria bertatto di depannya. Mereka rocker beneran kayaknya. Saya kan cuma cita-cita. Sedikit jiper saya nanya ini gallery buka atau nggak. Eh ternyata dijawab lho.. Katanya tokonya tutup. Tapi saya gak berani nanya lagi, tutup sementara, tutup karena udah waktunya tutup yang meskipun menurut saya belum waktunya karena matahari masih keliatan sinarnya, atau emang tutup selamanya. Apapun jawabannya, efeknya sih semua sama buat saya. Hari itu intinya saya gak bisa liat aja koleksi boots Way Out. Saya gak punya keberanian nanya lagi, nanti browsing ajalah, ini gallery masih beroperasi atau nggak. (dan belum browsing juga sampe nulis ini)
Pria-pria bertatto di Way Out menutup liburan seminggu kali ini. Road trip Puncak, Cianjur, Ciwidey, Pantai Selatan Garut, Cukang Taneuh, Batu Karas dan Pangandaran usai sudah. PR nulisnya yang belum selesai. Ditulis bukan buat (sekedar) pamer. Tapi buat kenang-kenangan keluarga kami. Saat Lana dan Keano besar nanti, dan mereka punya kehidupan sendiri, saya ingin mereka ingat kebersamaan ini. Saat saya dan suami tua nanti, kami bisa melihat-lihat lagi album ini. Waktu tak pernah bisa kita beli. Jadi kalau ada rejeki, saya dan suami mau tetap jalan-jalan. Ini salah satu cara kami menggoreskan kenangan.
*****