Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar Banten Kidul, Sukabumi
Akhirnya kesampaian juga melihat acara adat Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar Banten Kidul di Sukabumi, Jawa Barat. Seren Taun ke 650, tahun 2018, pas kesempatannya ada, pas barengannya banyak pula. Anggota rombongan adalah keluarga teman-teman sekelas Keano di Sekolah Alam Indonesia, Studio Alam, Depok. Biarpun berangkat bareng teman sekolah, ini adalah acara di luar kegiatan sekolah. Kebetulan sejumlah orang tua punya minat jalan-jalan yang sama. Kami lumayan sering ngajak anak traveling. Tapi, yang namanya ngajak anak melihat upacara adat, apalagi di kampung yang masih teguh memegang cara hidup tradisional, baru pertama kali ini kami lakukan.
Pantai Citepus di kawasan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, menjadi titik kumpul. Ada sebagian keluarga yang sudah jalan-jalan duluan. Makanya biar gampang, ketemunya di sana aja. Anak-anak juga bisa main di pantai dulu. Setelah mereka puas basah-basahan, baru deh rombongan berangkat.
Dari Pantai Citepus menuju Kasepuhan Ciptagelar sekitar 1 jam 45 menit tanpa macet, kalau mengikuti arahan google maps. Kasepuhan Ciptagelar sendiri berlokasi di Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. Namun perjalanan dari kawasan pantai menembus perbukitan tempat di mana kampung adat berada, tidaklah semudah memandang peta yang ditampilkan gadget. Jalan sempit, berliku, banyak ruas masih berupa hamparan batu.
Satu mobil akhirnya menyerah. Nitip parkir di halaman warung sebuah kampung yang kami lewati. Bagian bawahnya beberapa kali kena gasruk, nyangkut di batuan yang membuat jalanan jauh dari sebutan mulus. Apalagi hujan menambah jalur lebih licin, gelap malam pula. Penumpangnya pindah semua ke kendaraan lain yang terus berjuang menuju Ciptagelar. Mobilnya boleh tak sampai, tapi orangnya jangan.
Jalur yang kami tempuh melalui Gunung Bongkok. Ini sudah yang paling bersahabat dan biasa dilalui angkutan umum menuju Kasepuhan Ciptagelar. Saran kami, jangan naik mobil sedan. Kecuali udah jago banget, lihay, dan paham mengendalikan medan. Jalur lain yang tersedia, lebih offroad lagi. Biasanya motor trail atau kendaraan 4×4 yang lewat. Yaitu jalur Sirnaresmi yang medium offroad, dan jalur Ciptarasa, jalur yang lebih ekstrim. Jalur Ciptarasa melewati hutan primer Gunung Halimun. Lebih sulit, tapi lebih indah pemandangannya. Jalur Gunung Bongkok, jadi pilihan. Lebih mudan dan aman, walaupun secara jarak lebih jauh sekitar 10 km dari jalur Sirnaresmi.
Setelah menempuh medan berat, lepas Isya kami sampai di kampung Ciptagelar. Keramaian langsung terasa. Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar adalah pesta adat tahunan. Masyarakat kampung dan sekitarnya bersuka cita. Malam menjelang hari H, ada banyak banget acara. Mulai dari pertunjukan tari tradisional, wayang, sampai panggung dangdutan. Titik keramaian tersebar. Pasar malam juga dipenuhi pengunjung. Dari yang jualan cilok, aneka buah dan sayur, pakaian, sampai menyewakan odong-odong, tumplek blek ada semua. Kalau ingin menikmati suasana hajatan di kampung, beneran inilah saatnya.
Cuma malam itu, kami sudah terlalu lelah. Sebagian bocah juga sudah mengantuk. Belum lagi perut berasa lapar. Kami menginap ramai-ramai di sebuah rumah penduduk. Warga Ciptagelar sudah biasa menerima tamu. Apalagi menjelang Seren Taun. Semua rumah terbuka untuk pengunjung. Malam itu kami makan mi instan. Ada juga yang beli makanan di pasar malam. Setelah kenyang, langsung tidur berdesakan.
Ibu-ibu dan anak-anak tidur lesehan di ruang tamu. Bapak-bapak tidur di ruang tengah yang menjadi satu dengan dapur. Rumah warga Ciptagelar terbuat dari kayu dilapisi bilik bambu. Tak ada rumah permanen di sini. Semua mengikuti adat yang diwariskan. Tak adanya bangunan permanen merujuk kebiasaan berpindah warga kasepuhan. Pemimpin kasepuhan adalah orang yang akan mendapatkan wangsit dari leluhur jika sudah saatnya mereka pindah. Kawasan ini sendiri sudah dihuni sejak tahun 2001. Sebelumnya masyarakat adat ini tinggal di Ciptarasa, 14 km dari lokasi sekarang.
Kampung Ciptagelar dikelilingi hamparan sawah. Masyarakatnya menanam padi secara tradisional. Panen dilakukan setahun sekali. Tak ada pupuk ataupun pestisida kimia yang digunakan. Semuanya serba alami. Padi sangat dimuliakan oleh masyarakat. Karena itu tak boleh diperjualbelikan, baik dalam bentuk gabah maupun beras. Semua hasil panen disimpan di lumbung untuk pangan warga. Masa panen adalah masa pesta, masa di mana masyarakat bersyukur atas limpahan alam yang diberikan pada mereka. Pesta panen inilah yang dinamakan dengan Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar.
Upacara adat Seren Taun selalu menarik minat pengunjung. Banyak yang datang dari jauh hanya untuk melihat acara adat tahunan ini. Rombongan kami, salah satunya. Saya dan suami, ingin anak-anak kami tumbuh mengenal budaya dan tradisi negeri sendiri. Kami ingin mereka melihat, bahwa ada cara hidup yang berbeda di luar sana. Bahwa setiap tempat memiliki kearifan lokal. Ada prinsip yang harus kita jaga, dan hormati bersama.
Pagi menjelang Seren Taun, kesibukan makin terasa. Pemilik rumah yang kami tempati ikut sibuk. Meski begitu, masih sempat pula menyediakan makan bagi rombongan. Nasi dan ayam goreng menjadi sarapan pagi itu. Rumah-rumah di kampung terlihat banyak menampung tamu. Mulai dari komunitas penggemar offroad, kalangan pencinta budaya, sampai orang-orang biasa kayak kami yang penasaran ingin melihat langsung acara adat Seren Taun.
Sebelum acara dimulai, saya menyempatkan diri keliling kampung. Melihat-lihat pasar dadakan yang ternyata sudah buka juga. Yang unik dari kampung ini, meski mempertahankan cara hidup tradisional, ada juga teknologi yang mereka adaptasi. Masyarakat adat di Ciptagelar ternyata memiliki siaran televisi dan radio lokal sendiri. CIGA TV dan radio Suara Ciptagelar menyiarkan kegiatan adat dan aktivitas sosial masyarakat. Keberadaannya untuk mengimbangi tontonan dari luar yang jarang mengakomodir tradisi setempat. Listriknya dari mana?? Jangan takut, mereka punya pembangkit listrik mikrohidro sendiri. Warga di sini bisa disebut mandiri secara pangan dan teknologi. Bagaimanapun kuatnya adat dipegang, informasi dari luar tetap penting bagi mereka untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Lapangan tengah kampung sudah disiapkan sebagai lokasi acara Seren Taun Ciptagelar. Umbul-umbul juga sudah terpasang. Upacara akan berpusat di depan lumbung keramat, lumbung yang disucikan sebagai simbol keberkahan warga. Lumbung ini diberi nama Leuit Si Jimat. Padi hasil panen terbaik, nantinya akan dimasukkan ke dalam lumbung ini saat upacara.
Setiap keluarga di Ciptagelar biasanya memiliki satu hingga lima lumbung padi. Deretan lumbung terletak di pinggir permukiman, berjajar rapi di tepi sawah. Lumbung terbuat dari bangunan kayu dan bambu tanpa jendela. Padi yang tersimpan di dalamnya bisa tahan bertahun-tahun.
Dengan menyimpan padi dan larangan memperjualbelikannya, warga Ciptagelar mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Padi hasil panen selalu melebihi kebutuhan konsumsi penduduknya. Ini membuat lumbung selalu penuh. Kearifan lokal ini yang berusaha terus dipertahankan oleh masyarakat adat. Jangan sampai, warga yang hidup dari bertani malah kelaparan karena kurang pangan.
Saya sempat berkeliling pagi-pagi melihat-lihat kawasan tempat lumbung berada. Orang-orang yang saya temui menyambut dengan wajah ramah. Mereka juga menjelaskan dengan ringkas setiap pertanyaan saya. Keliatan banget kalau warga di sini sangat bangga dengan tradisi dan adat mereka. Gak segan juga mereka berbagi informasi dengan pendatang seperti saya. Hari itu, semua penduduk kampung mengenakan pakaian tradisional. Kaum laki-laki mengenakan baju hitam-hitam, sebagian melengkapinya dengan ikat kepala.
Sedangkan di dapur umum, kaum peremuan dengan kain dan kebaya sudah sibuk sejak dini hari. Hasil masakan mereka akan disajikan kepada seluruh warga serta tamu dan undangan. Makan gratis hari ini tersedia. Sudah beneran kayak hajatan. Siapa saja boleh datang dan ikut makan.
Waktu yang ditunggu akhirnya pun tiba. Para pengunjung diminta menepi dan mengosongkan bagian tengah lapangan. Lesung ditumbuk bertalu-talu, menandakan acara segera dimulai. Makanan dari dapur umum juga sebagian sudah dibawa ke balai desa, tempat di mana nanti seluruh warga bisa menikmati hidangan.
Seru sih melihat persiapannya. Seluruh warga terlihat bahu membahu melakukan apa yang mereka bisa. Rumah-rumah di kampung mulai kosong karena semua aktivitas berpusat di lapangan yang berhadapan dengan Leuit Si Jimat.
Keluarga kami duduk lesehan di pinggir lapangan saat acara akan dimulai. Suara tumbukan lesung semakin mendominasi. Para ibu yang melakukan atraksi ini. Lesung biasanya digunakan untuk menumbuk padi agar menjadi beras. Namun kali ini, lesung dalam keadaan kosong. Iramanyalah yang dimanfaatkan sebagai penanda Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar akan segera dimulai.
Iring-iringan mulai memasuki arena. Berada paling depan adalah para jawara. Sakti banget mereka ini. Tubuhnya tak mempan bacokan dan tusukan senjata tajam. Yak, siapa sih yang gak kenal debus, ilmu kebal ala jagoan Banten. Nah, para jawara ini mempertontonkan ilmu kanuragan yang mereka miliki. Kasepuhan Ciptagelar adalah bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar di 500 desa. Wilayahnya meliputi provinsi Banten dan Jawa Barat. Karena itu tak heran bila tradisi Banten adalah salah satu yang menonjol pula dalam adat Ciptagelar.
Buat anak-anak seperti Lana dan Keano, butuh pendampingan khusus saat menyaksikan adegan ini. Saya menjelaskan pada mereka, bahwa hal ini tidak bisa dilakukan oleh orang biasa. Kenapa mereka harus punya ilmu kebal, adalah karena tugasnya sebagai penjaga warga. Macam The Avengers yang punya tugas mulia mempertahankan keberadaan manusia di dunia.
Para jawara ini gak kalah saktilah, sama para jagoan di komik-komik ala Amerika. Not to mention ilmu tak kasat mata yang mereka miliki. Bagian yang terakhir tentu saya gak ceritakan pada anak-anak. Terlalu rumit nanti mereka memikirkan dan mencoba menggambarkannya hehehehe…
Setelah iring-iringan para jawara, ada beragam seni Sunda pula. Tarian, gamelan, dan bebunyian angklung ala Sunda Banten mengiringi para pembawa padi hasil panen. Padi yang masih utuh dengan tangkainya diusung dengan pikulan bambu. Gesekan antara tali pengikat padi dengan pikulan bambu menghasilkan irama yang sangat khas. Suara ini seolah menjadi musik sendiri yang turut meramaikan acara.
Masuknya rombongan pemikul padi menjadi salah satu bagian inti ritual adat, sebelum acara puncak memasukkan padi ke Leuit Si Jimat. Hasil panen dipertontonkan dengan bangga kepada warga dan pengunjung. Ini juga sebagai wujud rasa syukur bahwa alam telah memberikan hasil melimpah. Alam yang dijaga dengan penuh rasa hormat dan cinta. Alam yang telah memberikan kebaikan pada semesta.
Buat anak-anak, ini pengalaman baru. Sesuatu yang asing buat mereka. Terlepas dari tertarik atau tidak, salah satu misi kami sebagai orang tua untuk memperkaya wawasan dan khasanah pengetahuan mereka, tuntas. Bahwa nun di pelosok, kawasan pedalaman Gunung Halimun Salak, tinggal sekelompok masyarakat adat. Mereka yang hidup dengan cara berbeda. Bahwa nasi yang mereka makan, bukan berasal dari beras yang dibeli di Indomaret atau Alfamart. Slogan tanam sendiri makananmu, sudah turun temurun mereka lakukan.
Di puncak acara, Abah Ugi, pemimpin Kasepuhan Ciptagelar memimpin ritual meletakkan padi ke Leuit Si Jimat. Ritual ini dinamakan ngadiukeun. Pemimpin adat adalah orang yang sangat dihormati. Ialah yang menerima segala wangsit dari leluhur. Pemimpin adat berlaku turun temurun. Abah Ugi mulai menjadi pemimpin di usia 20tahunan, setelah ayahnya meninggal. Berdasarkan silsilah, Abah Ugi adalah pemimpin kesebelas masyarakat adat ini. Ialah yang membawa pembaharuan bagi masyarakat. Di antaranya, listrik mikrohidro dan saluran TV serta radio lokal. Di era kepemimpinannya, adat dan tradisi berpadu dengan teknologi.
Acara puncak segera berlangsung. Padi diletakkan ke dalam lumbung keramat. Banyaknya pengunjung yang ingin mengabadikan momen ini membuat warga harus memberikan batas motret. Mereka memang sudah biasa menghadapi tamu dan pengunjung. Setiap tahun, acara Seren Taun memang selalu dihadiri banyak orang. Karena itu segala antisipasi demi lancarnya acara sudah disiapkan warga.
Selesai prosesi Ngadiukeun, yakni meletakkan padi dalam lumbung keramat, Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar pun selesai. Kami sempat berfoto di depan Leuit Si Jimat. Buat warga kasepuhan Ciptagelar, tunai sudah salah satu kewajiban adat. Prosesi penuh suka cita sebagai wujud rasa syukur mereka. Kami juga bersyukur, bisa menyaksikan Seren Taun. Meski menempuh perjalanan panjang, banyak hal yang bisa kami petik. Tentang bagaimana berterima kasih pada alam. Tentang bagaimana menjadi manusia yang tidak serakah terhadap hasil bumi.
Inii bagus bangettt sih untuk dikasih liat ke anak2 mba. Jangankan mereka, aku aja tertarik kalo bisa datang.
Salut aja Ama warganya yg saling bantu , beras untuk bersama, Ama tamu yg DTG pun mereka ga sungkan kasih tempat menginap, diksh makan juga dan semuanya gratis. Kurasa sifat mereka yg banyak memberi , jadi balasan banyak rezeki yg melimpah :).
Kagum ih Ama para jawara yg kebal senjata mba :o. Itu berapa lama sampe mereka bisa ke tahap itu yaaa :D.
Iya, hidup itu ternyata simpel aja di sini. Dan yang paling prinsip adalah pangan tercukupi dengan aturan yang mereka bikin sendiri. Soal jawara, banyak banget pertanyaan anak-anak yang mesti pelan-pelan aku jawab juga. Apalagi mereka beneran punya ilmu kebal macam di film-film hahaha
Persawahan warga Ciptagelar indah sekali, kapan-kapan ingin mampir ah 😀
Mampir selagi bisa mampir, tinggalnya di rumah warga biar tambah syahdu. Btw thanks sudah mampir juga ke ajakanak