Pelabuhan Sunda Kelapa: Menikmati Senja di Ujung Jakarta
Menikmati sore, petang hingga malam datang. Pelabuhan Sunda Kelapa bisa jadi salah satu pilihan terbaik menyambut senja Jakarta, menyaksikan perubahan langit ibu kota. Hidung-hidung mancung yang terbentuk dari kapal-kapal kayu yang berderet, selalu menjadi pemandangan menarik bagi saya. Semakin asyik karena bisa berbagi dengan keluarga, ajak anak main-main ke Sunda Kelapa.
Pelabuhan Sunda Kelapa, gak hanya indah, pelabuhan ini juga sarat akan sejarah. Inilah salah satu pelabuhan tertua di Indonesia, dan menjadi cikal bakal kota Jakarta.
Mengisi libur akhir pekan, utara Jakarta kembali jadi pilihan. Setelah menuntaskan keinginan Lana dan Keano buat jalan-jalan ke Ancol dan main air di Aqua Fun, Pelabuhan Sunda Kelapa sudah dibidik dari awal buat jadi lokasi nonton lepas sambut matahari dan bulan di langit Jakarta. Sayang, cuacanya mendung, jadi gak dapat sunset dan langit yang berwarna. Tapi pemandangan dan komposisi deretan kapal yang ada, sudah sangat cukup untuk sekadar cuci mata.
Bukan hanya kapal, ternyata truk-truk besar, crane, dan juga peti kemas, jadi tontonan menarik buat Keano. Juga jadi objek foto Lana dan Keano yang asyik gantian memotret dengan kamera digitalnya. Kamera jadul yang memang sudah dipensiunkan dan sengaja buat ajang latihan dan uji coba anak-anak.
Suasana sore di pelabuhan saat itu relatif sepi. Selain kami, para pekerja dan ABK, Sunda Kelapa sore itu juga lumayan ‘diramaikan’ oleh para pengunjung lain yang datang. Sama-sama menikmati senja, cuci mata, dan rata-rata membawa kamera, hunting foto. Pelabuhan Sunda Kelapa memang termasuk tempat wisata, dan masuk dalam Kawasan Kota Tua Jakarta. Wisata bahari, wisata sejarah, wisata yang murah meriah.
Indahnya garis dan bentuk kapal pinisi, atau kapal-kapal kayu yang rapi berderet di dermaga, bagi saya memang jadi atraksi utama di Sunda Kelapa. Atau gak kalah menariknya saat melihat kesibukan para pekerja yang sedang bongkar muat secara tradisional, dengan memanggul barang melewati titian kayu dari pinggir dermaga ke kapal, atau sebaliknya.
Tapi jelang petang, sudah gak ada lagi kesibukan bongkar muat barang. Satu dua masih terlihat. Yang nampak hanya para pekerja atau anak buah kapal yang sudah santai di atas kapal. Ada yang sudah nongkrong, atau jalan-jalan. Ada juga yang baru mandi, lengkap dengan sarungnya dan timba air di atas kapal. Kapal memang tempat kerja sekaligus rumah bagi mereka.
Selain komposisi bentuk dari deretan kapal, membaca nama-nama kapal juga jadi hiburan tersendiri. Jadi gak berasa, jalan kaki sore itu tahu-tahu kami sudah hampir di ujung pelabuhan. Beberapa kapal diberi nama penuh doa, atau benada optimis dan harapan. Ada kapal dengan nama; Berkat Hidayah Ilahi, Berkat Safinatussalam, Bina Setia, Sinar Abadi,dan lain-lain.
Buat yang suka berperahu atau males jalan kaki, di sini juga ada jasa perahu atau sampan buat keliling pelabuhan. Sempat ditawari 50 ribu keliling sepuasnya dengan sampan, tapi karena waktunya sempit sudah mau maghrib, gak jadi naik sampannya. Anak-anak juga lagi asyik jalan kaki sambil motret-motret.
Saat ini, pelabuhan yang sudah ada sejak kerajaan Pajajaran dan Tarumanegara ini, juga adalah pangkalan pelabuhan kayu dari seluruh Nusantara. Sekarang, Sunda Kelapa hanya melayani kapal antar pulau. Dulu, pada zamannya Sunda Kelapa adalah pelabuhan ramai bagi para pedagang dari Arab, Tiongkok, India, Inggris, dan Portugis. Di sinilah pintu masuk kebudayaan luar yang sudah membentuk Jakarta seperti sekarang ini.
Saya selalu suka dengan pelabuhan tradisional. Selalu betah berlama-lama di sini. Pagi atau sore, adalah waktu-waktu terbaik buat menikmati pelabuhan. Pelabuhan Paotere di Makassar, dan Sunda Kelapa di Jakarta misalnya, selalu masuk list dalam tempat favorit saya buat jalan-jalan. Jadi kalau ada waktu dan kesempatan lain, gak susah meniatkan buat kembali merapat ke pelabuhan.
****