Mencicipi Lembu Naik Bukit di Kamboja
Jadi begini ceritanya. Siem Reap adalah kota pertama di Kamboja yang kami kunjungi. Kami menginap di salah satu kawasan berkumpulnya turis manca negara, Sok San Road. Hotel, losmen, guesthouse, cafe, restoran, laundry sampe jasa terapi gigit ikan, rame ngumpul di sini. Kebanyakan turis bule. Muka-muka Asia, mayoritas statusnya orang lokal, bukan wisatawan.
Kami sampai di Siem Reap pagi, dan langsung check in hotel. Istirahat sejam dua jam di hotel, buat melepas lelah setelah perjalanan dari Bangkok dengan bis semalaman. Siangnya, baru cari makanan. Setelah jalan kaki keliling area Sok San, gak disangka kami ketemu kampung muslim di belakang kawasan. Hebatnya gak sekedar kampung muslim, tapi juga sejumlah resto halal tersedia. Tepatnya di Fungky Lane. Jalan ini bersimpangan dengan Sok San Road. Ada masjid juga berdiri di sana. Alhamdulillah, makan siang aman.
Untuk makan pertama di Kamboja, kami memilih resto yang paling dekat dengan masjid –tepatnya ada di belakang masjid An Neakmah atau Al Nikmah. Namanya Muslim Family Restaurant.
Tampilan restonya sederhana, sama dengan mayoritas resto yang kami temui di sekitar tempat menginap. Yang menarik, daftar menu tersedia dalam bahasa Melayu dan Inggris. Jadi terasa istimewa menemukan tulisan yang bisa kami baca dan langsung mengerti. Sebagai gambaran, bahasa dan aksara Kamboja asli, sangat asing bagi kami. Gak ngertilah intinya. Huruf-huruf Latin gak digunakan dalam bahasa setempat.
Salah satu menu halal yang paling populer di sini adalah Lembu Naik Bukit. Yaitu irisan daging sapi yang ditumis dengan aneka potongan sayur. Lembu naik bukit dimasak menggunakan wajan khusus dengan bagian tengah yang menonjol seperti bukit. Inilah asal muasal nama masakan ini. Kalau dalam bahasa Khmer –bahasa Kamboja– namanya Kaw Leng Phnom.
Makanan ini harganya 8 USD per porsi. Jadi kalau dengan kurs sekarang (2017), sekitar 108 ribu rupiah per porsi. Lumayan mahal memang. Kata abangnya yang masak, di Kamboja ini memang lebih mahal dibanding di negara ASEAN lainnya. Apalagi di sini dollar Amerika yang berlaku. Jadi secara kurs, ikut mahal juga.
Tapi bakal nyesel kalau gak nyoba si Lembu Naik Bukit ini. Menu andalan dan recomended di Siem Reap, selain lok lak dan amok. Porsinya lumayan besar, bisa buat rame-rame. Buat sekeluarga, atau 2-3 orang icip-icip, masih cukup dan kebagian enaknya lah.
Memasak Lembu Naik Bukit dilakukan di hadapan pengunjung. Makanya jadi tontonan yang menarik buat Lana dan Keano. Selama dimasak, si daging dan sayuran di naik turunin “bukit” berulang-ulang sampai matang. Proses masaknya sekitar lima menit. Setelah masakan siap, barulah dihidangkan panas-panas, lengkap dengan kompornya di meja makan.
Nasi putih, sambal belacan, serta saus lemon yang dibubuhi merica menjadi teman menyantap Lembu Naik Bukit. Gak butuh waktu lama ngabisinnya. Soalnya, perut kami juga udah laper banget. Plus rasa masakan ini cocoklah buat lidah orang Indonesia.
Yang paling berkesan di lidah adalah rasa saat dagingnya yang halus, dicocol ke saus lemon merica. Seger. Apalagi tingkat kematangan dagingnya juga pas. Cocok dimakan panas-panas. Dengan nasi, atau tanpa nasi tetap enak.
Muslim Kamboja bertalian darah dengan orang Malaysia. Karena itu, bahasa Melayu biasa digunakan di restoran muslim negara tersebut. Walau begitu, Lembu Naik Bukit diklaim sebagai makanan asli Kamboja. Abang yang di restoran ini kekeuh, kalao masakan ini bukan menu impor. Dia bilang, di Malaysia nggak ada makanan kayak gini.
Dan satu lagi, walaupun keliatan mirip sama orang Malaysia (dan Indonesia juga sih), Muslim Kamboja gak mau disebut imigran. Mereka lebih suka dibilang warga Kamboja asli. Karena pada kenyataannya, sejak beberapa generasi, mereka memang dilahirkan di negeri yang sempat pecah karena perang saudara ini.
*****