KulinerRoad Trip

Melewati Fase Sabar dan Lapar di Sate Klathak Pak Pong

“Akhirnya… sejam lebih nunggu akhirnya datang juga” terdengar  suara dari meja sebelah, ungkapan lega bernada syukur ketika mas-mas pelayannya datang membawa pesanan mereka ke atas meja. Saya lihat raut sumringah di wajah semua anggota keluarga yang duduk di lapak sebelah. Keluarga dengan empat anak. Kelihatannya dari luar kota Jogja. Yang paling ekspresif terdengar adalah suara dari anak-anak dan ibunya. Bapaknya tampak lebih kalem, atau mungkin tipe ‘sedikit bicara banyak makannya’.

Bisa jadi sebelumnya mereka sudah melewati fase lapar dan sabar yang terbilang akut. Kalau lapar, mungkin bisa ditahan. Biasa, masih bisa sabar. Tapi kalau terus digempur sama wangi dari daging kambing yang dibakar, dan asap yang terus mengepul, bisa jadi godaannya lebih berat.

Kami sendiri sebelumnya ketika pesan sate sudah dikasih tahu alias diperingatkan sama pelayannya, kalau pesanan akan datang sekitar satu jam lagi, atau lebih. Karena sudah niat buat berklathak ria, kami terima saja peringatan itu sambil berharap besar kalau itu cuma peringatan jaga-jaga dari mereka supaya konsumennya gak kecewa kalau pesanannya lama. Eh, dengar obrolan dari meja sebelah tadi, ternyata benar juga. Bukan sekadar warning jaga-jaga.

Sore, kami sampai di Sate Klathak Pak Pong, sekitar jam empat lewat. Bukan prime time-nya makan, seperti makan siang atau makan malam. Tapi tetap saja di sini nemu antrean. Sebelumnya kami sudah makan siang, jadi datang ke Pak Pong dengan masih cukup amunisi di perut. Dengan kondisi perut gak kosong melompong, kelebihannya kami lebih sabar karena gak banyak rongrongan dari mahluk-mahluk penyuka keroncong yang ada di perut. Tapi satu kekurangannya adalah nikmat makan sate akan sedikit berkurang. Bukankah makan akan lebih nikmat kalau perut sedang lapar? Apalagi kalau makanannya adalah makanan sekelas sate kambing.

Harus menunggu sejam lebih, saya pikir bukan waktu yang berat buat kami jalani. Sekalian sambil menyiapkan lapak kosong di perut dan memberi waktu tidur lebih buat Keano.

Kami hanya berempat ke Sate Klathak Pak Pong. Lana gak ikut, pisah mobil ikut rombongan bareng sepupu-sepupunya jalan-jalan di Jogja. Mumpung ada waktu, kami melipir dulu menengok Pak Pong. Begitu sampai di Pak Pong, saya dan Yossie masuk duluan order pesanan dan cari meja kosong. Dapat saung lesehan yang masih berantakan karena baru ditinggal pemakan kambing sebelumnya. Keano masih tidur di mobil di parkiran ditemani Eyang. Belum satu jam tidur di parkiran, Keano sudah bangun. Ngompol.

 

Tidur sudah, ngompol sudah, tapi pesanan sate belum jadi juga. Sudah hampir satu jam. Sambil nunggu, nontonin yang bakar sate di depan. Juga main-main di playground yang ala kadarnya. Lumayan bisa main buat sekadar isi waktu.

Nonton yang lagi bakar sate sebenarnya jadi hiburan tersendiri buat Keano. Buat saya juga. Sekaligus jadi ujian yang berat tetapi indah menyenangkan. Lihat warna daging dari merah mentah jadi sedikit coklat dan matang, dihiasi asap yang terus mengepul meliuk-liuk ke udara,  bikin gak nahan buat segera melahap si klathak.

Singkat cerita, akhirnya pesanan kami datang. Memang gak jauh-jauh dari perkiraan di angka satu jam. Satu jam lewat tepatnya. Kami pesan tiga porsi sate, nasi goreng kambing, es jeruk dan teh manis panas. Eyang gak ikut makan, lebih milih  nunggu di mobil. Ngantuk katanya. Lagian memang eyang sudah pensiun makan kambing. Masih jagain kadar kolesterol, asam urat dan tekanan darahnya.

Slerrrppp, satu per satu sate dihajar dengan lahap. Satenya empuk, kenyalnya gak neko-neko, karena ditopang serat daging yang pas. Sate klathak ini memang juara. Selain tampilannya yang gahar cakep dengan tusukan jari-jari besi atau jeruji sepeda, buat saya rasanya memang pas banget. Jangan khawatir dengan rasa kalau si klathak ini cuma pakai garam saja dan minimalis bumbu. Justru di sinilah letak istimewanya. Dengan orisinalitas dagingnya yang gak banyak ‘terkontaminasi’ bumbu, tusukan daging yang cukup besar-besar ini semakin memperlihatkan cara pengolahan dan pemilihan daging yang baik. Kalau mau tambah rasa dan basah-basahan, kuah gulai (tapi encer) selalu tersedia terpisah menemani si klathak. Cengek atau cabe rawit juga stand by, kalau-kalau mau main pedas.

Untuk Keano sebenarnya dipesenin nasi goreng kambing, siapa tahu gak terlalu minat sama si klathak. Sekalian saya juga ngetes rasa nasi gorengnya. Enak nagobingnya. Tapi ternyata Keano lahap juga makan sate klathak. Dengan gagahnya dan kelihatan terasa nyaman megang jeruji besi, sate kambing diembat Keano tanpa basa basi. Jadi saingan berat di satu meja. Nagobingnya malah dinomer duakan.

Ludes, nikmat. Puasnya pas. Soal harga hitungannya masih tarif bawah. Normal, relatif murah. Total 85 ribu rupiah untuk tiga porsi sate, satu piring nagobing, es jeruk dan teh manis panas. Harga satenya 19 ribu per porsi.

Selesai sudah nengok Pak Pong. Selain satenya yang enak, tempatnya juga nyaman. Parkiran luas. Tempatnya ada dua bagian juga, depan-depanan seberang jalan. Petugas parkir (atau security?) berbaju biru sigap membantu nyeberang dan parkir. Gak susah nyari alamatnya. Tinggak ketik Sate Klatak Pak Pong di Google Maps, kami langsung diarahin ke arah Imogiri Bantul. Tepatnya Jl. Imogiri Timur Km 10, sebelah timur stadion Sultan Agung. Kalau mau jajal sate klathak yang lain juga bisa. Karena di Imogiri ini, sepanjang arah ke Pak Pong, banyak dilewati warung sate klathak. 

****

Ajak Anak

Hallo, kami Herwin-Yossie-Lana & Keano, keluarga dengan dua anak penggemar traveling. Backpacking, budget traveling, hiking, & camping bersama anak menjadi favorit kami. Di sini kami berbagi cerita traveling dan pengalaman bertualang. Dan percayalah, bagi anda yang suka traveling dan wisata petualangan, melakukannya bersama anak dan keluarga jauh lebih menantang, sekaligus menyenangkan.

6 komentar pada “Melewati Fase Sabar dan Lapar di Sate Klathak Pak Pong

  • Waaaak aku belum pernah (:
    Serius ini nunggunya lama betuuul:D

    Balas
  • Ya mba, waktu itu sejam lebih. Mungkin krn msh suasana libur lebaran, seminggu setelah hari H lebaran. Jam atau hari lain bsa jadi bakal lebih cepet atau lebih lama. Buat penggemar kambing, gak nyesel lah ke sini

    Balas
  • Ya mas Arfi, enak hehe… Kayaknya gak bakalan rugi masuk agenda tetap kalo ke Jogja

    Balas
  • Segeralah mbak Dian, sebelum wacana kolesterol dan sejenisnya menghalangi hehe.. Makasih mbak sdh mampir

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *