Kami, Bromo, dan Foto (Sekilas Cerita Jalan-jalan ke Bromo)
Perjalanan santai sambil membawa kenangan indah kota Solo, Tawangmangu dan Telaga Sarangan, juga kota Malang dengan ‘Masjid Tiban’ dan bakso Presidennya, akhirnya membawa kami ke Bromo. Kami tiba tepat saat pergantian langit dari terang menjadi gelap. Menempuh lebih dari 1.200 km, kami mencicil jarak dan membayar dengan waktu. Dua malam di Solo dan semalam di Malang, sambil menikmati keindahan kota-kota yang dilewati, lebih dari cukup sebagai bekal kegembiraan anak-anak untuk melanjutkannya di Bromo. Sepanjang perjalanan ke Bromo adalah satu cerita yang berkesan, dan Bromonya sendiri adalah kesan indah lainnya.
Momen-momen matahari terbit Bromo dengan selimut awan putih dan kabut mengelilingi gunung, adalah magnet terkuat untuk kami merelakan berkurangnya jatah waktu tidur karena harus bangun jam tiga dini hari.
Indahnya pemandangan Bromo di pagi hari, ternyata belum mampu mengganti berkurangnya jatah tidur Lana. Lana masih ngantuk, dan agak rewel saat menikmati matahari terbit Bromo. Untunglah, setelah sesi sunrise, ngantuknya hilang, dan Lana kembali ceria.
Bukit Teletubbies, padang savana hijau yang diberi nama dari judul film anak-anak karena memang mirip dengan set atau lokasi rumah teletubbies yang berbukit-bukit. Lokasi ini sebenarnya sebuah lembah hijau yang dikelilingi tebing dan beberapa punggungan gunung kecil.
Tanpa mengurangi kegaharannya dalam menjelajah kawasan Bromo, warna pink Jeep Hardtop ini sangat kids friendly, termasuk mas supirnya yang sangat ramah dan rajin menawarkan diri menjadi fotografer dadakan keluarga kami. Warna jip yang cocok buat Lana. Dan mobil yang sangat disukai Keano.
Bukan offroader senior. Eyang sedang khusyu menikmati segarnya pagi di sekitaran padang savana Bukit Teletubbies Bromo. Kabut yang masih cukup tebal menyelimuti lereng, perlahan hilang menampakkan kekokohan lereng dan hijaunya punggungan bukit Teletubbies.
Langit biru di atas gunung, dengan kabut yang masih tebal, tidak cocok jika beriringan dengan segala kesedihan. Maka, tersenyumlah…!
Di kaki Bromo, terdapat Pura Luhur Poten tempat ibadah suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu. Menjadi pemandangan yang menarik sebelum naik ke kawah Bromo.
Jasa penyewaan kuda siap mengantar ke anak tangga menuju kawah Bromo. Warga sekitaran gunung Bromo, mengandalkan sektor pariwisata untuk menunjang keberlangsungan ekonominya. Salah satunya dengan berjualan dan menyewakan kuda. Memelihara kuda adalah pilihan alternatif, selain bertani dan bekerja di ladang sebagai mata pencaharian utama mayoritas suku Tengger di Bromo.
Satu lagi nama tempat di Bromo yang diambil dari judul film, Pasir Berbisik. Lautan pasir di sekitar kaldera Bromo. Hamparan pasirnya yang lembut dan berwarna hitam, sangat kontras dengan birunya langit. Gak heran jika film ‘Pasir Berbisik’ memilih lokasi ini, dan terbukti mampu menghasilkan gambar atau sinematografi yang sangat apik.
Sayang anak… sayang anak. Salah satu pilihan kami memberikan kasih sayang ke anak, adalah ‘menjejali’ mereka dengan pengalaman ke tempat-tempat yang menarik. Sambil menyelam minum air. Anaknya senang, ortunya juga senang J
Lautan pasir berbisik sebagai penutup perjalanan setelah setengah hari penuh di Bromo. Dibilang lautan pasir, karena memang sangat luas dengan pasir hitamnya yang sangat lembut. Anak-anak dilepas juga gak bakalan khawatir, bebas mau berlarian atau guling-gulingan.
Sinar matahari langsung jatuh di atas lautan Pasir Berbisik, tidak terasa terik.
Karena Bromo selalu menyisakan dingin. Dan juga kami yang masih ingin terus bermain.
***