Ajak Anak Mendaki Gunung Prau, Seru!
Gunung Prau tingginya 2590 mdpl. Keindahan matahari terbit serta deretan perbukitan yang mengelilinginya membuat gunung ini –menurut kami– layak banget didaki. Buat pendaki pemula dan anak-anak, Prau bisa menjadi rekomendasi.
Prau berlokasi di kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Sebelum mendaki Prau, kami buka tenda, bermalam di pinggir Telaga Cebong. Kalau mau camping di Dieng tanpa naik gunung, Telaga Cebong ini salah satu camp site favorit. Parkiran deket, warung deket, toilet banyak lengkap ada musala juga. Kami udah ngincer banget pengen camping di sini sejak terakhir kali mengunjungi Dieng. Ini sedikit cerita soal Telaga Cebong dari perjalanan kami ke Dieng beberapa tahun lalu, kalau mau sedikit baca-baca. Sekarang sih ceritanya fokus ke pendakian ke Gunung Prau aja ya..
Menuju Dieng, kalau naik kendaraan umum tinggal tembak aja naik bus ke Wonosobo. Dari Terminal Mendolo tinggal tanya mikro bus menuju kawasan Dieng. Gak perlu kuatir nyasar, apalagi di musim liburan, bakal ketemu banyak orang yang punya niat sama menuju Dieng.
Berangkat dari Base Camp Kalilembu
Ada banyak jalur pendakian menuju Puncak Prau. Ada jalur Patak Banteng, Dieng Wetan, Dieng Kulon, ada juga lewat Kalilembu. Nah sesuai anjuran guide kami dari Trail Indonesia, travel organizer yang spesialis mengelola perjalanan wisata petualangan, jalur yang paling cocok didaki oleh anak-anak adalah melalui Kalilembu. Alhamdulillah ya.. kami bisa menggunakan jasa Trail Indonesia gratis, secara yang punya itu ayah temennya Keano hehehe.. the power of pertemanan berlaku di sini.
Kami berangkat dari basecamp Kali Lembu selepas salat Jumat. Cukup rempong perjalanan kali ini karena melibatkan 9 keluarga lengkap dengan bapak ibu dan sekitar l8 anak. Peserta adalah keluarga teman-teman sekelas Keano, kelas 2 SD di Sekolah Alam Indonesia, cabang studio alam Depok. Perjalanan ini sendiri di luar acara sekolah. Kuatnya komunitas orang tua di SAI, membuat hubungan kami sesama orangtua juga dekat. Jadilah sering ngadain kegiatan bareng. Karena yang ikut keluarga, gak semuanya anak-anak (waktu itu) kelas 2 SD. Ada yang bawa adek atau kakak, ada juga yang ngajak tante. Jadilah dalam rombongan ini terdapat juga 3 balita, yang paling kecil sekitar umur 2 tahun, dan yang paling besar ada dua kakak SMA. Serulah.. kayak piknik keluarga besar. Bedanya kita pikniknya naik gunung hehehe..
Pendakian Menuju Pos 1, 2, 3 Prau
Dari basecamp menuju pos 1 bener-bener pemanasan dan kepanasan. Yah bayangin aja, matahari lagi gahar-gaharnya. Yang dilewati juga kebanyakan ladang penduduk. Jadilah sinar matahari langsung kena kepala. Buat yang bawa balita, lewat sini bener-bener menguji niat. Jalan kaki si anak yang super lambat, ada juga yang masih digendong, membuat hati gundah, bakal sampe puncak nggak ya?? atau balik aja mumpung basecamp masih deket hehehe… Alhamdulillah, semua godaan dilampaui. Rombongan dengan sabar menunggu dan saling dukung. Lepas dari ladang, rimbun pohon datang melindungi dari panasnya matahari. Cobaan pertama terlewati.
Selanjutnya, mulai deh nanjak tipis-tipis. Anak-anak yang udah bisa jalan sendiri seperti Lana dan Keano udah pada ngacir. Sementara kaum ibu bapak mulai engap hahaha.. Yang bawa balita, cobaan lebih lagi. Udahlah mesti ngawal si kecil dan nyemangatin mereka, mesti berhadapan juga sama fisik yang mulai diuji. Hebatlah para ibu bapak rombongan kami kali ini. Mentalnya dari baja semua kayaknya. Sependek pengalaman saya naik gunung dari muda, sekuat-kuatnya fisik pendaki kalau mentalnya cemen ya dia nggak akan sampe mana-mana. Makanya, menurut saya yang utama buat naik gunung itu mental dulu yang dikuatin, fisik baru ngikutin.
Nanjak selow, nggak maksa buat cepet sampe, beberapa kali kami istirahat. Yang luar biasa itu fisik anak-anak. Naik gunung ini dianggap main di kebon kali ya. Nggak ada capeknya. Mereka memang nggak bawa barang karena kami menggunakan jasa porter. Yang dibawa paling cemilan sama minum secukupnya. Tapi kaaan… yang namanya naik gunung tetep aja nanjak. Butuh cadangan nafas banyak, dan ini kayaknya cadangan nafas anak-anak bejibun. Riang gembira rombongan bocah berjalan. Ketemu beberapa pendaki dewasa yang cuma bisa geleng-geleng kepala dan ketawa ngeliat polah mereka.
Sampai pos 2, ketinggian mulai berasa. Ada bukit pandang dimana kita bisa melihat hamparan dataran di bawah. Dengan kecepatan rombongan kami yang kayak gini, berangkat abis jumatan prediksinya sih sebelum maghrib sudah sampai puncak.
Lewat dari pos 2, jalur mulai ngetrek. Tanjakan mulai curam. Beberapa kali kami istirahat. Secara natural rombongan akhirnya terpecah. Rombongan anak usia Keano dan kakaknya, mimpin di depan. Sementara rombongan keluarga dengan balita, jalan selow di belakang.
Medan yang paling berat dalam perjalanan menuju Puncak Prau lewat jalur Kalilembu ya memang dari pos 2 ke pos 3. Tanjakan-tanjakannya kalau diliat bikin pengen narik nafas hehehe… Menghadapinya ya jangan cuma dipandangi. Dijalanin aja dulu pelan-pelan, nanti juga sampe..
Di Pos 3, kebanyakan pendaki istirahat lebih lama dari pos-pos sebelumnya. Area istirahat di sini juga lebih lapang. Pos 3 ini titik pertemuan jalur pendakian Kalilembu dengan jalur Dieng. Jadi kalau dari arah kita nanjak, menuju puncak ambil jalur ke kanan, jangan ambil jalur ke kiri karena nanti kita malah turun lagi. Alhamdulillah petunjuk jalur selama pendakian jelas. Udah gitu jalur yang berbentuk jalan setapak juga mudah diikuti. Hampir nggak ada rintangan kayak deretan pohon tumbang yang membuat kita mesti jalan jongkok atau merunduk-runduk macam naik Gunung Pangrango di Jawa Barat.
Selepas Pos 3, Puncak Prau menanti. Pemandangan indah mulai keliatan di kanan kiri karena kita berjalan di atas puncak-puncak bukit. Hampir ngga ada tanjakan lagi selepas pos 3, sampai akhirnya di kejauhan keliatan papan yang menandai Puncak Prau.
Puncak Prau
Sampai di puncak, legaaa akhirnya.. Hamparan padang rumput berbukit-bukit bikin pengen gelundungan ke sana sini… err… nggak juga sih hahaha.. Yang jelas buat generasi masa lalu yang pernah nonton teletubbies, yah kaya gitulah bukit-bukitnya.
Sampai di puncak, ternyata muncul drama. Keano gak mau diajak foto keluarga karena pengen lari-larian sama temen-temennya yang udah lebih dulu menuruni puncak bukit menuju campsite. Padahal ini kan momen, pas cuaca bagus dan cerah, pas langitnya biru banget, pas masih pake seragaman kaos ajak anak, pas ada di sini juga. Besok pas pulang belum tentu ketemu situasi kayak gini lagi kan ya..
Akhirnya dengan wajah sedih terpaksa dan menahan tangis, Keano bersedia juga foto keluarga. Pada tau kan ya, namanya juga foto di lokasi istimewa, pasti gak cukup cuma sekali dua kali jepret. Banyak pose dan banyak gaya dooong maunya.. dan ini membuat air mata Keano semakin deras dan sulit dibendung lagi hehehehe…
Jadi jangan heran, kalau liat muka Keano senyumnya seolah terpaksa, itu karena memang terpaksa hahahaha… maaf ya dek, tapi suatu saat kalau kita mengenang momen ini semua bakal ketawa kok. Foto keluarga di tengah pemaksaan ini bakal jadi peninggalan yang mahal harganya.
Camp Telaga Wurung
Di puncak gak boleh mendirikan tenda. Angin yang kencang dan udara dingin di puncak berbahaya buat pendaki. Turun sedikit ke lembah, barulah ada area camping. Di sini, angin cukup terhalang perbukitan. Lebih cepat dari perkiraan, sekitar jam 4-5 sore kami sudah tiba di camp. Kecuali keluarga dengan balita yang tiba lebih lambat. Meski begitu, sebelum maghrib, semua rombongan lengkap sudah sampai basecamp.
Enaknya ada pemandu dan ikut organize travel, pas sampe, tenda kita sudah ada yang mendirikan. Udah gitu gak perlu repot masak, karena udah jadi tugas para porter ini. Jadi tinggal selonjoran nunggu makan malam.
Semakin sore pendaki semakin banyak yang tiba. Rombongan silih berganti melewati kumpulan tenda kami di tengah savana. Semua pendaki di sini punya satu niat, jangan sampe ngelewatin detik-detik terbitnya matahari esok pagi.
Sunrise Prau
Di tengah udara yang dingin banget, fyi suhu di Puncak Prau bisa mencapai nol derajat dan membuat rerumputan berselimut es, mesti bangun dan siap-siap jalan menanti matahari terbit. Badan masih kaku semua. Tadinya males mau tinggal di tenda aja, tapi mendengar kehebohan rombongan di luar, Lana dan Keano jadi semangat pengen ikut meski mata terkantuk-kantuk.
Ada banyak spot memandangi matahari terbit di Prau. Tinggal pilih mau di puncak bukit yang mana. Dari tenda kami jalan kaki sekitar 5 sampai 10 menit, kemudian bergabung dengan ratusan pendaki lain penikmat sunrise.
Sunrise dari puncak gunung itu selalu istimewa. Maha karya sang Pencipta itu memang luar biasa. Saya seneng ngajak anak ke sini. Gak semua anak bisa punya pengalaman kayak gini. Saya pengen anak-anak saya selalu bisa menghargai alam. Karena tau keindahannya, maka mereka tergerak ingin melindunginya.
Gak salah deh, memandangi sunrise itu momen keluarga banget. Hangat dan romantis. Rasanya pengen lama-lama duduk dan gak ngapa-ngapain selain ngobrol dan ketawa-tawa rame-rame. Tapi ya itu, momen itu mahal karena memang ada waktunya, langka, dan gak selalu tersedia. Matahari bakal semakin tinggi, cahayanya bakal nggak hangat lagi dan berubah menjadi panas. Waktunya kembali ke tenda. Perut butuh sarapan.
Anak-anak dilepas di padang rumput. Mereka asik main, mulai dari lari-larian sampai apalah permainan yang saya juga nggak tau apa namanya. Sejenak pada lupa kali punya orang tua, bapak ibunya dicuekin hahaha.. yowis.. saya jalan-jalan bedua sama suami. Kita mah orang dewasa senengnya foto-foto hihihi…
Cari spot foto bagus ke beberapa puncak bukit, ketemu plang puncak prau dengan ketinggian yang beda dari yang kemarin. Ini gak setinggi yang kemarin. Tapi cocoklah buat bergaya ala-ala pendaki gunung.
Kelompok-kelompok tenda milik para pendaki tersebar ke sana sini saking luasnya tempat gelar tenda. Hamparan tenda warna-warni ini jadi pemandangan unik tersendiri.
Di Prau, nggak ada toilet. Jadi urusan ke “belakang” adalah ketrampilan komando hahaha… Bawa pisau atau sekop, gali-gali… yak kemudian silakan dibuang urusannya, jangan lupa dikubur lagi. Mesti ada kode etik juga buat pendaki, urusan ke belakang ini mesti dilakukan bener-bener di belakang entah di kejauhan mana jangan sampe deket tempat nenda. Kan nanti berabe urusannya. Satu lagi, jangan sampe urusan toilet ini deket sama sumber air. HARAM hukumnya karena bisa merugikan baik pendaki, maupun pengguna sumber air di hilir.
Beranjak tengah hari, kami semua bersiap pulang. Para porter kebagian tugas ngebungkus tenda. Kami pulang melalui jalur puncak yang dilalui sehari sebelumnya. Foto-foto bareng rombongan jadi wajib buat kenang-kenangan. Kali ini Keano gak nangis. Cuma sebel aja, langitnya nggak sebiru kemarin. Sudahlah ya, yang penting sukses juga foto keluarga di Puncak Prau ronde kedua.
Turun Lewat Jalur Dieng
Dari puncak kami mengambil rute yang sama menuju pos 3, tapi setelah itu kami turun lewat jalur yang beda dengan saat naik kemarin. Kali ini kami lewat jalur Dieng. Biar dapat pengalaman lebih banyak ceritanya.
Anak-anak batereinya masih nggak abis-abis. Jalur turun dibabat lari-larian. Sempat jatuh, kadang nangis, tapi gak lama, langsung bangun dan jalan lagi. Saya bangga liat anak-anak pemberani ini. Cuma yah.. harus direm sedikit demi keselamatan. Kami turun tepat 21 April hari Kartini. Ada acara ekspedisi pendakian perempuan. Sudah gitu pas long weekend pula. Jadi anak-anak harus antre turun di jalur-jalur yang sempit bergantian dengan pendaki yang baru naik. Seru aja sih, ngeliat pendaki dewasa ngos-ngosan bawa carrier berat pas nanjak, eh malah ketemu anak-anak kecil yang turun lari-larian sambil bercanda.
Untungnya kami melalui jalur Dieng ini saat turun. Soalnya kalau diliat-liat tanjakannya kaya lebih terjal. Kalau naik sambil gendong anak pasti pegel. Yes untuk balita memang sebagian ada yang digendong ayahnya. Pas turun, karena kecapekan, gendong anaknya bisa dijoki ke ayah anak lain hehehehe.. yah sebut saja ini bagian dari tolong menolong.
Sementara untuk anak kelas 2 SD keatas, josslah.. mamak sampe cemberut ngikutin speednya. Kalau kebanyakan dilarang, nanti takut si anak ngambek, moodnya jadi hilang. Jadi selama masih dalam tahap aman, dibiarin aja pada ngebut. Tinggal ada perwakilan orang tua aja yang mesti ikut dampingin bocah-bocah ini.
Dan akhirnya.. pendakian bersama bocah ini selesai juga. Dari pos 1-Dieng, melewati ladang penduduk lagi, sampe deh ke basecamp. Jalur Dieng ini ternyata jauuuuuh lebih rame dari Kalilembu tempat kami naik. Seneng juga bertemu banyak banget pendaki. Banyak dari mereka yang kasih apresiasi ke anak-anak kami. Mungkin karena naiknya langsung dalam rombongan yang banyak. Karena sebenernya ada juga anak-anak seusia Lana dan Keano yang ikut diajak naik ke Prau. Cuma biasanya satu dua aja dalam kelompok kecil.
Dari basecamp pendakian Dieng, kami mesti ke basecamp Kalilembu karena sejumlah peralatan ditinggal di sana. Perjalanan ini juga bikin seneng. Saking banyaknya rombongan jadi mesti kebagi-bagi berangkatnya. Ada yang naik mobil bak (ini yang paling happy kayaknya hahaha), ada jug yang naik mikrobus. Yang penting semua cepet keangkut karena hari itu juga kami harus kembali ke Depok. Bus yang kami carter sejak keberangkatan udah nunggu di tempat janjian. Sampai jumpa lagi Prau, pendakian yang penuh kesan, gak akan terlupakan.
asik juga ya ajak anak ke gunung Prau. Jadi kangen kesana. Terakhir Juli 2019 lewat jalur Dieng, pulang pergi,tapi belum berani bawa anak.
Asik kok ke Prau bawa anak. Soalnya waktu itu rame-rame. Mereka sih ngacir. Kita emak bapaknya yang ngos-ngosan hehehe..
Asal waspada aja sama cuaca dinginnya. Itu aja yang kadang bikin khawatir. Takut anak-anak gak tahan dingin.
Yuk kapan-kapan meet up naik gunung bawa anak hihihi..
waw, masih punya balita usia 2th, aman ga kak dibawa ke gunung prau?? mending naik langsung turun atau bisa diajak camp semalam??
Tergantung support systemnya. Waktu kami ke Prau, di kelompok kami ada yang bawa balita 2 tahun. Untuk naik langsung turun justru berat karena perjalanan cukup panjang dan menguras tenaga. Lebih baik ngecamp semalam. Peralatan harus memenuhi standar karena puncak Prau bisa ekstrem dinginnya. Apalagi bawa balita, mesti ekstra keamanannya. Pengalaman waktu ngajak anak kecil-kecil kesana kami bawa porter untuk angkut barang, nyiapin tenda, sekaligus masakin di camp. Jadi kita fokus bawa badan dan ngawasin anak.
Boleh minta info kontak porter yang digunakan dan peralatan apa aja yg perlu dipersiapkan sendiri utk bawa 2 balita (4 dan 2 th)