Kalau ada pertanyaan di permainan Duel Otak soal desa tertinggi di pulau Jawa, Lana pasti tahu jawabannya. Sembungan village atau Desa Sembungan di Dieng Wonosobo, Jawa Tengah, jawabannya. Sembungan gak cuma menyandang sebagai desa tertinggi di pulau Jawa. Desa yang termasuk desa wisata ini menyajikan pemandangan yang indah, dan sudah pasti segar. Di libur lebaran, bagi sebagian orang Dataran Tinggi Dieng dan tentunya Sembungan memang jadi primadona buat jalan-jalan. Termasuk kami.
Berada di desa tertinggi, bukan berarti kami harus bersusah payah bernafas karena tipisnya udara. Sembungan memang gak seperti kota La Paz di Bolivia misalnya. Di mana timnas sepak bola Argentina asuhan Diego Maradona yang lagi jago-jagonya di babak kualifikasi Piala Dunia 2010 dihajar 1-6 oleh tuan rumah Bolivia, yang sekaligus jadi kekalahan perdana Maradona sebagai pelatih Argentina. Alasannya gampang saja, seperti tim-tim lain yang bermain di La Paz, kota di ketinggian 3.600 mdpl lebih itu, disebut sudah membuat para pemainnya susah berlari dan cepat kehabisan nafas.
Kami memang gak main bola di Sembungan. Hanya sekadar wisata, jalan-jalan santai. Jadi tetap fresh, dan malah lebih bertenaga. Setelah puas dengan golden sunrise di puncak Bukit Sikunir, yang masih masuk wilayah desa Sembungan, Keano dan Lana semangat turun dari Sikunir. Gak ada ‘keluhan’ cape, ngantuk, apalagi sesak nafas. Yang ada malah bergerak lincah dan ngajak segera ke pinggir telaga. Yang dituju adalah Telaga Cebong.
Telaga Cebong pagi itu memang rame banget. Area Telaga Cebong seolah jadi alun-alunnya atau ibu kotanya Sembungan. Area ini memang jadi tempat kumpul, tempat parkir, dan awal pendakian menuju puncak Bukit Sikunir. Yang baru turun dari Sikunir, tumpleknya ya di sini juga. Parkiran penuh. Kios-kios pedagang juga rame dipenuhi wisatawan.
Berada di ketinggian sekitar 2.300 meter di atas permukaan laut, Sembungan layak diperjuangkan buat anak-anak ke sini. Selain
golden sunrise Sikunir, Telaga Cebong cocok buat nyantai bersama keluarga. Di sekitar desa Sembungannya sendiri, enak banget buat jalan-jalan. Pemandangan hijau dengan ladang dan kebunnya yang subur, ditambah suasana desa yang masih asli, cukup membantu membersihkan noda polusi yang banyak menghinggapi mata, hidung, telinga, dan otak ini. Maklum sehari-hari hidup sebagai buruh di kawasan industri ibu kota.
Di desa Sembungan, homestay banyak tersedia.Tapi camping di pinggir Telaga Cebong sebenarnya ide yang bagus dan sempat akan direalisasikan. Tapi berhubung masih belum pasti dapat lapak (parkir dan lapak tenda), dan juga takut anak-anak gak nyaman karena kedinginan dan kecapean, jadinya rencana campingnya ditunda dulu. Kali ini nginap di homestay saja, cari ‘aman’ simple dan pasti-pasti dulu. Lain kali lah camping di Telaga Cebong.
Naik perahu di Telaga Cebong jadi pengalaman menarik buat Lana Keano. Jangankan di Telaga Cebong, main perahu di taman atau danau buatan di tengah kota saja senangnya minta ampun. Apalagi ini, di telaga segar nan bening di dataran tinggi Dieng.
Gak banyak perahu yang ada di sini. Gak banyak juga kelihatannya yang mau naik perahu berwisata ke tengah telaga. Mungkin orang-orang gak tahu atau memang gak suka. Gak ada juga papan pengumuman atau promo yang menunjukkan kalau ada penyewaan perahu.
Kebetulan lagi ada satu perahu sedang sandar, anteng parkir. Kami datangi abangnya di pinggir telaga dan tanya-tanya. Ternyata bisa, dan minimal empat orang katanya. Pas sudah. Satu perahu diisi kami sekeluarga. Enak, seperti punya kapal wisata sendiri.
Kami diantar berkeliling menikmati segarnya telaga. Bayarnya sih lima ribu per orang, tapi
service si Abangnya memuaskan. Ramah, dan
helpful. Termasuk jadi fotografer keluarga, nawarin kami buat foto bersama. Walaupun gak lama, kami puas menikmati Telaga Cebong sekaligus pemandangan Sembungan dari arah telaga. Gak lama, karena kami gak balik lagi ketempat naik semula. kami terus menyeberang ke ujung telaga sampai di desa. Biar dekat ke tempat mobil kami diparkir.
Secara gak sengaja, ternyata naik perahu buat gantiin ojek nyeberang ke desa, adalah strategi yang mumpuni. Dapat pemandangan indah. Anak-anak senang naik perahu. Gak cape, dan lebih murah dari pada naik ojek. Dari tempat turun perahu, ke parkiran kami jalan kaki lewati gang-gang desa Sembungan. Menikmati pagi di desa, lengkap dengan segala aktivitas aslinya. Seperti ibu-ibu yang sibuk cuci jemur baju, atau bapak-bapak yang entah mau pergi ke mana.
Dari desa Sembungan, kami balik ke penginapan dulu. Leyeh-leyeh bentar, mandi dan beres-beres.
Packing lagi.
Chek out sekitar jam setengah sembilan, lanjut ke Candi Arjuna yang gak jauh dari penginapan. Gak afdol rasanya kalau ke Dieng tapi gak ke Candi Arjuna. Komplek candi yang masuk wilayah kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Konon katanya menurut sejarah, dan memang mau gak mau harus menurut dan percaya, Dieng dan komplek candi ini jadi bukti nenek moyang kita sudah ada di sini dan memilih lokasi ini menjadi tempat suci sejak zaman pra sejarah, dan diteruskan di masa pengaruh Hindu. Di sinilah bukti Dieng adalah Di Hyang atau tempat bersemayamnya para dewa.
Komplek Candi Arjuna ini tertata rapi. Tempat parkir dan kios-kios makanan yang ada di depan, juga rapi dan bersih. Komplek ini termasuk nyaman buat jalan kaki, lihat-lihat candi dan taman-tamannya. Anak-anak juga leluasa buat main. Termasuk main pasir dan kerikil. Yang ternyata main kerikil ini cukup mengganggu seorang ibu sosialita yang nampaknya dari ibu kota, yang takut anaknya kena sambit kerikil Keano. Padahal jauh panggang dari api. Alias kerikilnya ke mana, anaknya di mana. Lagian anaknya si ibu juga sudah gede, sekilas seperti anak kuliahan atau segera dinikahkan, yang kami yakin anak si ibu sangat cekatan buat ngeles atau sekadar menyingkir menjauh. Tapi wajar lah, mungkin dia anak kesayangan.
Buat saya, kejadian itu sangat ‘lucu’, biasa saja. Menambah dinamika wisata yang Indonesia banget, seperti halnya si mbak di puncak Bukit Sikunir yang jago mempraktekan peran antagonis. Tapi ternyata buat Yossie, ekspresi si ibu sosialita penyayang anak itu cukup mengganggu, karena seolah-olah Keano sudah jadi tersangka atau terdakwa penyambitan batu ke anaknya.
Kembali lagi ke cerita candi dan jalan-jalan senang. Sebagai penutup (mending ditutup dari pada ngelantur ke mana-mana, ke kerikil dan ibu sosialita), selain menikmati pemandangan dan wisata sejarah, komplek ini juga sangat kid friendly. Bukan candinya, apalagi ibu sosialita itu. Tapi mungkin karena lagi libur lebaran, di sini ada sedikit hiburan buat anak-anak, di antaranya penjual jasa foto bareng tokoh punakawan dan juga teletubies.
Jalan-jalan di komplek Candi Arjuna ini bukanlah akhir pelesir di Dataran Tinggi Dieng. Selanjutnya, dan sebagai penutup jalan-jalan di Dieng,
D’Qiano Hot Spring Waterpark jadi tujuannya. Panas dingin di D’Qiano.
Bersambung…
***